SIFAT
DENGKI MANUSIA
Dengki merupakan salah satu penyakit hati yang mesti dihindari. Dari banyak referensi, dituliskan bahwa dengki merujuk kepada kebencian dan kemarahan yang timbul akibat perasaan cemburu atau iri hati yang amat sangat. Ia amat dekat (berhubungan) dengan unsur jahat, tidak berkenan, benci dan perasaan dendam yang terpendam.
Ada juga yang mendefinisikan dengki
sebagai suatu perbuatan atau tindakan hati yang tidak senang melihat kesenangan
(nikmat) orang lain serta berharap agar kesenangan (nikmat) orang lain akan
hilang atau lenyap atau pun berpindah kepadanya.
Rasululloh SAW bersabda, “Janganlah
kalian saling mendengki, saling menfitnah (untuk suatu persaingan yang tidak
sehat), saling membenci, saling memusuhi dan jangan pula saling menelikung
transaksi orang lain. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara. Seorang
muslim adalah saudara muslimnya yang lain, ia tidak menzhaliminya, tidak
mempermalukannya, tidak mendustakannya dan tidak pula melecehkannya. Takwa
tempatnya adalah di sini -seraya Nabi SAW menunjuk ke dadanya tiga kali. Telah
pantas seseorang disebut melakukan kejahatan, karena ia melecehkan saudara muslimnya.
Setiap muslim atas sesama muslim yang lain adalah haram darahnya, hartanya dan
kehormatannya. ” (HR. Muslim dari Abu Hurairah ra)
ALLOH SWT berfirman:
“Katakanlah, Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai sebuah dari kejahatan makhluk Nya,” kemudian Dia berfirman, “Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki”. (AI Falaq(113): 1, 2 dan 5).
“Katakanlah, Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai sebuah dari kejahatan makhluk Nya,” kemudian Dia berfirman, “Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki”. (AI Falaq(113): 1, 2 dan 5).
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa
Rasululloh SAW bersabda:
“Ada tiga hal yang menjadi akar semua dosa. Jagalah dirimu dan waspadalah terhadap ketiganya. Waspadalah terhadap kesombongan, sebab kesombongan telah menjadikan iblis Inenolak bersujud kepada Adam. Waspadalah terhadap kerakusan, sebab kerakusan telah menyebabkan Adam memakan buah dari pohon terlarang. Dan jagalah dirimu dari dengki, sebab dengki telah menyebabkan salah seorang anak Adam membunuh saudaranya.” (HR Ibnu Asakir).
“Ada tiga hal yang menjadi akar semua dosa. Jagalah dirimu dan waspadalah terhadap ketiganya. Waspadalah terhadap kesombongan, sebab kesombongan telah menjadikan iblis Inenolak bersujud kepada Adam. Waspadalah terhadap kerakusan, sebab kerakusan telah menyebabkan Adam memakan buah dari pohon terlarang. Dan jagalah dirimu dari dengki, sebab dengki telah menyebabkan salah seorang anak Adam membunuh saudaranya.” (HR Ibnu Asakir).
So, saudara-saudaraku (yang seiman, maksudnya), marilah kita
jauhi penyakit hati dengki ini.
Rasulullah saw. bersabda, “Hindarilah dengki karena dengki itu memakan (menghancurkan) kebaikan sebagaimana api memakan (menghancurkan) kayu bakar.” (Abu Daud).
Dengki (hasad), kata Imam
Al-Ghazali, adalah membenci kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang lain
dan ingin agar orang tersebut kehilangan kenikmatan itu. Dengki dapat merayapi
hati orang yang merasa kalah wibawa, kalah popularitas, kalah pengaruh, atau
kalah pengikut. Yang didengki tentulah pihak yang dianggapnya lebih dalam hal
wibawa, polularitas, pengaruh, dan jumlah pengikut. Tidak mungkin seseorang
merasa iri kepada orang yang dianggapnya lebih “kecil” atau lebih lemah. Sebuah
pepatah Arab mengatakan, “Kullu dzi ni’matin mahsuudun.” (Setiap yang mendapat
kenikmatan pasti didengki).
Hadits itu menegaskan kepada kita
bahwa dengki itu merugikan. Yang dirugikan bukanlah orang yang didengki,
melainkan si pendengki itu sendiri. Di antara makna memakan kebaikan, seperti
yang disebutkan dalam hadits di atas, dijelaskan dalam kitab ‘Aunul Ma’bud,
“Memusnahkan dan menghilangkan (nilai) ketaatan pendengki sebagaimana api membakar
kayu bakar. Sebab kedengkian akan mengantarkan pengidapnya menggunjing orang
yang didengki dan perbuatan buruk lainnya. Maka berpindahlah kebaikan si
pendengki itu pada kehormatan orang yang didengki. Maka bertambahlah pada orang
yang didengki kenikmatan demi kenikmatan sedangkan si pendengki bertambah
kerugian demi kerugian. Sebagaimana yang Allah firmankan, “Ia merugi dunia dan
akhirat.” (‘Aunul Ma’bud juz 13:168)
Hilangnya pahala itu hanyalah salah
satu bentuk kerugian pendengki. Masih banyak kebaikan-kebaikan atau
peluang-peluang kebaikan yang akan hilang dari pendengki, antara lain:
Pertama, mengalami kekalahan dalam
perjuangan. Orang yang dengki perilakunya sering tidak terkendali. Dia bisa
terjebak dalam tindakan merusak nama baik, mendiskreditkan, dan menghinakan
orang yang didengkinya. Dengan cara itu ia membayangkan akan merusak citra,
kredibilitas, dan daya tarik orang yang didengkinya. Dan sebaliknya, mengangkat
citra, nama baik dan kredibilitas pihaknya. Namun kehendak Allah tidaklah demikian.
Dari Jabir dan Abu Ayyub Al-Anshari,
mereka mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada seorang pun yang
menghinakan seorang muslim di satu tempat yang padanya ia dinodai harga dirinya
dan dirusak kehormatannya melainkan Allah akan menghinakan orang (yang
menghina) itu di tempat yang ia inginkan pertolongan-Nya. Dan tidak seorang pun
yang membela seorang muslim di tempat yang padanya ia dinodai harga dirinya dan
dirusak kehormatannya melainkan Allah akan membela orang (yang membela) itu di
tempat yang ia menginginkan pembelaan-Nya.” (Ahmad, Abu Dawud, Ath-Thabrani)
Kedua, meruntuhkan kredibilitas.
Ketika seseorang melampiaskan kebencian dan kedengkian dengan melakukan
propaganda busuk, hasutan, dan demarketing kepada pihak lain, jangan berangan
bahwa semua orang akan terpengaruh olehnya. Yang terpengaruh hanyalah
orang-orang yang tidak membuka mata terhadap realitas, tidak dapat berpikir
objektif, atau memang sudah “satu frekuensi” dengan si pendengki.
Akan tetapi
banyak pula yang mencoba melakukan tabayyun, cari informasi pembanding, dan
berusaha berpikir objektif. Nah, semakin hebat gempuran kedengkian dan
kebencian itu, bagi orang yang berpikir objektif justru akan semakin tahu
kebusukan hati si pendengki. Orang yang memiliki hati nurani ternyata tidak
senang dengan fitnah, isu murahan, atau intrik-intrik pecundang. Di mata mereka
orang-orang yang bermental kerdil itu tidaklah simpatik dan tidak mengundang
keberpihakan.
Orang yang banyak melakukan provokasi dan hanya bisa menjelek-jelekkan pihak lain juga akan terlihat di mata orang banyak sebagai orang yang tidak punya program dalam hidupnya. Dia tampil sebagai orang yang tidak dapat menampilkan sesuatu yang positif untuk “dijual”. Maka jalan pintasnya adalah mengorek-ngorek apa yang ia anggap sebagai kesalahan. Bahkan sesuatu yang baik di mata pendengki bisa disulap menjadi keburukan. Nah, mana ada orang yang sehat akalnya suka cara-cara seperti itu?
Ketiga, mencukur gundul agama.
Rasulullah saw. bersabda, “Menjalar kepada kalian penyakit umat-umat
(terdahulu): kedengkian dan kebencian. Itulah penyakit yang akan mencukur
gundul. Aku tidak mengatakan bahwa penyakit itu mencukur rambut, melainkan
mencukur agama.” (At-Tirmidzi)
Islam adalah rahmat bagi sekalian alam. Akan tetapi Islam yang dibawa oleh orang yang di dadanya memendam kedengkian tidak akan dapat dirasakan rahmatnya oleh orang lain. Bahkan pendengki itu tidak mampu untuk sekadar menyungging senyum, mengucapkan kata ‘selamat’, atau melambaikan tangan bagi saudaranya yang mendapat sukses, baik dalam urusan dunia maupun terkait dengan sukses dalam perjuangan. Apatah lagi untuk membantu dan mendukung saudaranya yang mendapat sukses itu. Dengan demikian Islam yang dibawanya tidak produktif dengan kebaikan alias gundul.
Keempat, menyerupai orang munafik.
Perilaku dan sikap pendengki mirip perilaku orang-orang munafik. Di antara
perilaku orang munafik adalah selalu mencerca dan mencaci apa yang dilakukan
oran lain terutama yang didengkinya. Jangankan yang tampak buruk, yang
nyata-nyata baik pun akan dikecam dan dianggap buruk. Allah swt. menggambarkan
perilaku itu sebagai perilaku orang munafik. Abi Mas’ud Al-Anshari –semoga
Allah meridhainya– mengatakan, saat turun ayat tentang infaq para sahabat mulai
memberikan infaq. Ketika ada orang muslim yang memberi infaq dalam jumlah
besar, orang-orang munafik mengatakan bahwa dia riya. Dan ketika ada orang
muslim yang berinfak dalam jumlah kecil, mereka mengatakan bahwa Allah tidak
butuh dengan infak yang kecil itu. Maka turunlah ayat 79 At-Taubah. (Bukhari
dan Muslim)
Benarlah ungkapan seorang ulama
salaf: “Al-hasuudu laa yasuud (pendengki tidak akan pernah sukses).”
(Kasyful-Khafa 1:430).
Kelima, tidak mampu memperbaiki diri
sendiri. Orang yang dengki, manakala mengalami kekalahan dan kegagalan dalam
perjuangan cenderung mencari-cari kambing hitam. Ia menuduh pihak luar sebagai
biang kegagalan dan bukannya melakukan muhasabah (introspeksi). Semakin larut
dalam mencari-cari kesalahan pihak lain akan semakin habis waktunya dan semakin
terkuras potensinya hingga tak mampu memperbaiki diri. Dan tentu saja sikap ini
hanya akan menambah keterpurukan dan sama sekali tidak dapat memberikan manfaat
sedikit pun untuk mewujudkan kemenangan yang didambakannya.
Keenam, membuat gelap mata dan tidak dapat melihat kebenaran. Dengki membuat pengidapnya tidak dapat melihat kelemahan dan kekurangan diri sendiri; dan tidak dapat melihat kelebihan pada pihak lain. Akibatnya, jalan kebenaran yang terang benderang menjadi kelam tertutup mega kedengkian. Apa pun yang dikatakan, apa pun yang dilakukan, dan apa pun yang datang dari orang yang dibenci dan didengkinya adalah salah dan tidak baik. Akhirnya, dia tidak dapat melaksanakan perintah Allah swt. sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, “Orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang- orang yang mempunyai akal.” (Az-Zumar:18)
Ketujuh, membebani diri sendiri.
Orang yang membiarkan dirinya dikuasai oleh iri dengki hidupnya menanggung
beban berat yang tidak seharusnya ada. Bayangkan, setiap melihat orang lain
yang didengkinya dengan segala kesuksesannya, mukanya akan menjadi tertekuk,
lidahnya mengeluarkan sumpah serapah, bibirnya berat untuk tersenyum, dan yang
lebih bahaya hatinya semakin penuh dengan dengki, marah, benci, curiga, kesal,
kecewa, resah, dan perasaan-perasaan negatif lainnya. Enakkah kehidupan yang
penuh dengan perasaan itu? Tentu saja menyesakkan.
Dalam bahasa Al-Qur’an, bumi
yang luas ini dirasakan sumpek. Seperti layaknya penyakit, ketika dipelihara
akan mendatangkan penyakit lainnya. Demikian pula penyakit hati yang bernama
iri dengki. Bila dia tidak dihilangkan akan mengundang penyakit-penyakit
lainnya. Maha Benar Allah yang telah berfirman, “Di dalam hati mereka ada
penyakit maka Allah tambahkan kepada mereka penyakit (lainnya).” (Al-Baqarah:
10)
Betapa sulitnya kita menghimpun
kebaikan dan meraih kemenangan. Maka janganlah diperparah dan dipersulit dengan
membiarkan dengki menguasai hati kita. Mari berlomba dalam kebaikan. Allahu
a’lam.
Jenis-jenis Dengki :
Pertama, ada pendengki yang berusaha menghilangkan nikmat yang diperoleh orang yang didengkinya, dengan ucapan seperti fitnah dan perbuatan, meskipun dia tidak mengharapkan nikmat tersebut pindah kepada dirinya.
Pertama, ada pendengki yang berusaha menghilangkan nikmat yang diperoleh orang yang didengkinya, dengan ucapan seperti fitnah dan perbuatan, meskipun dia tidak mengharapkan nikmat tersebut pindah kepada dirinya.
Kedua, ada pendengki yang selain berusaha menghilangkan nikmat dari
orang yang didengkinya, ia juga berusaha memindahkan nikmat tersebut kepada
dirinya. Kedua macam dengki tersebut adalah dengki yang sangat tercela. Dan
dosa dengki itulah yang merupakan dosa iblis. Iblis dengki kepada Adam karena
Allah memberi keutamaan kepada Adam atas segenap malaikat dengan menyuruh para
malaikat sujud (sebagai penghormatan) kepada Adam, mengajarkannya nama segala
sesuatu dan menempatkannya di Surga. Demikianlah lalu iblis dengan
kedengkiannya berusaha mengeluarkan Adam dari Surga.
Ketiga, ada orang yang bila mendengki orang lain, ia tidak
melanjutkan dengki itu dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Dan demikian
itulah tabiat yang sekaligus kelemahan manusia; hampir selalu menginginkan
memiliki apa yang dimiliki orang lain. Menurut riwayat dari Al-Hasan, selama
tidak dibuktikan dengan ucapan dan perbuatan, iri hati jenis ini tidak berdosa.
Namun tentu, sebaiknya ia hilangkan perasaan dengki dan iri tersebut dari dalam
hatinya, hingga tidak menjadi penyakit.
Dalam beberapa riwayat yang dha’if
disebutkan, dengki jenis ketiga ini
ada dua macam:
1. Ia tidak sanggup menghilangkan
perasaan dengki dan iri itu dari dalam dirinya. Ia kalah dengan dirinya
sendiri. Ia berusaha menepis, tapi perasaan dengki dan iri itu masih timbul
tenggelam dalam hatinya. Namun ia tidak melanjutkannya dalam bentuk ucapan
maupun perbuatan. Iri jenis ini tidak membuatnya berdosa.
2. Ia sengaja membisikkan perasaan
iri dan dengki itu ke dalam hatinya. Ia mengulang-ulang bisikan itu, dan
hatinya menikmati bisikan tersebut, sehingga mengangankan agar nikmat itu
hilang dari saudaranya. Tetapi dia tetap tidak melanjutkan dengkinya itu, baik
dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Keadaan seperti ini adalah sama dengan
orang yang berkeinginan kuat melakukan maksiat. Tentang dosa dengki jenis ini,
para ulama berbeda pendapat. Tetapi yang jelas, secara realitas, orang yang
mendengki pada tahap ini, sangat sulit bisa selamat dari ucapan-ucapan yang
menunjukkan dia memendam kedengkian. Karena itu, ia bisa terjerumus kepada
dosa.
Keempat, ada lagi iri hati yang tidak menginginkan nikmat itu hilang
dari kawannya, tetapi ia berusaha keras bagaimana mendapatkan nikmat semacam
itu. Jika nikmat tersebut bersifat duniawi, maka tidak ada kebaikannya sama
sekali. Iri hati seperti inilah yang juga ditunjukkan oleh orang-orang yang
menginginkan kehidupan dunia, seperti yang dilakukan orang-orang kepada Qarun.
Allah berfirman:“(Mereka berkata), ‘Duhai seandainya kami memiliki
sebagaimana yang diberikan kepada Qarun.” (Al-Qashash: 79).
Jika nikmat itu bersifat ukhrawi,
maka ia adalah kebaikan. Sebagaimana disebutkan oleh Nabi SAW: “Tidak boleh dengki
dan iri hati kecuali dalam dua hal; yaitu iri hati terhadap orang yang
dikaruniai harta dan dia selalu menginfakkannya pada malam dan siang hari.
(juga iri) kepada orang yang diberi kepandaian membaca Al-Qur’an, dan dia
membacanya setiap malam dan siang.”(HR. Bukhari dan Muslim). Dan inilah
yang dinamakan ghibthah (keinginan). Disebut dengan hasad/iri (tetapi yang
baik) sebagai bentuk peminjaman istilah belaka (isti’arah).